top of page

Salam Memenuhi Pidato Kritis Pendidikan Nadiem Makarim

Penulis: Ignatio Yoga


Foto: Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Yudhis saat ditemui tim EdutionalNews pada Rabu (20/11/2019)


YOGYAKARTA, EDUTIONALNEWS  - Viralnya Naskah pidato di media sosial tentang peringatan Hari Guru Nasional 25 November, milik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim karena menyita perhatian publik dan memunculkan berbagai respon masyarakat. Salah satu poin naskah pidato yang viral juga menjadi poin yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Sekolah Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta.


Poin kalimat dalam naskah tersebut adalah Nadiem menyampaikan rasa simpati untuk para guru di Indonesia karena tugas mulia yang mereka emban juga diikuti oleh banyaknya regulasi yang justru menyulitkan tugas mereka. Selain itu, Nadiem memandang tugas administratif yang dibebankan kepada para guru menghambat mereka untuk membantu para murid yang mengalami ketertinggalan di kelas.


Salam sejak awal berdirinya, sudah jauh lebih kritis melihat secara nyata, sebuah proses arti belajar yang sebenarnya adalah kapan saja dan dimana saja. Hal tersebut disampaikan melalui wawancara dengan Kepala administrasi Sanggar Anak Alam, Yudis. Beliau menambahkan bahwa jika dilihat kembali proses belajar sebenarnya bukanlah guru sebagai input lalu anak atau murid sebagai outputnya, tetapi pengalaman atau riset sebagai input lalu masyarakat belajar sebagai outputnya. 


“Sehingga belajar di lingkungan sekolah bergeser esensinya, harusnya sekolah memfasilitasi belajar yang bisa terjadi kapan pun. sekolah hanya wadah saja bagi masyarakat belajar. Siapa masyarakat belajar itu? Ya, anak, orang tua murid, serta guru sebagai penyelenggaranya.” Tegas Yudis.


Selain itu keterangan juga disampaikan oleh salah seorang orang tua murid yang juga sejak 13 Tahun lalu bergabung sebagai fasilitator Salam, Hesty menjelaskan bahwa dirinya sebagai salah satu fasilitator Salam tingkat Taman Anak (TA) ketika menjadi fasilitator juga mendapat pembelajaran untuk menahan emosi dan mengasah kemampuan berkomunikasi.


“Berkomunikasi dengan usia anak-anak seperti ini membutuhkan pendekatan khusus. Begitu juga mengkomunikasikan perkembangan anak-anak kepada orang tuanya. Apalagi, tiap anak memiliki tantangan yang berbeda-beda. Dan, tiap orang tua juga memiliki pola pikir berbeda pula. Di situlah peran fasilitator berada.” Ujar Hesty.


Ia menjelaskan bagaimana akhirnya dia bisa bertahan selama 13 Tahun untuk menjadi fasilitator di Salam, bahwa terdapat beberapa faktor seperti dia senang dengan dunia anal-anak, lalu menurutnya sebuah kritik Sanggar Anak Alam terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan apa yang akhirnya dia pikirkan juga.


“Ya, walaupun sekarang pada jenjang Sekolah formal menggunakan sistem k-13 (Kurikulum 2013) namun pada prakteknya juga belum semua berjalan dengan apa yang telah disusun pada k-13nya kan, seperti masih mengakar pada sistem sebelumnya (kurikulum 2006). Lalu para pengajar juga dibebani oleh administratif, catat-mencatat bikin laporan, sedangkan muridnya menjadi tertinggal, justru esensinya sebagai pengajar menjadi bergeser.” Tutup Hesty.

3 views0 comments
bottom of page