top of page

Memandang Filosofis Pendidikan Lewat SALAM

Penulis: Ignatio Yoga



Foto: Bangunan Sanggar Anak Alam di tengah sawah.


YOGYAKARTA, EDUTIONALNEWS - Belajar itu selayaknya dapat dilakukan Kapan pun, dan Dimana pun. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Yudhis, kepada tim redaksi Edutional News, saat wawancara di Sanggar Anak Alam (Salam).


Yogyakarta, (20/11/2019), siang itu kami tim redaksi Edutional News berangkat menuju Bantul, tepatnya daerah Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, dimana berdiri sebuah tempat berdinamika kelompok belajar masyarakat bernama Sanggar Anak Alam (Salam).


Sampai di lokasi, tim redaksi ditakjubkan dengan keberadaan Sekolah yang berdiri di tengah area persawahan, yang mengkontradiksikan tatanan pendidikan yang selama ini kita kenal. Berjalan melewati beton parit sawah mendekati bangunan Salam, segera tim redaksi bergegas mencari narasumber untuk dimintai keterangan. 


Tepat kami datang, saat itu keadaan di area Salam sedang melaksanakan kegiatan belajar yang dibagi pada kelompok-kelompok anak dan satu orang dewasa yang telihat sedang membimbing. Kemudian kami diarahkan oleh salah satu orang dewasa pembimbing  kelompok anak tersebut yang akhirnya mempertemukan tim redaksi dengan Mas Yudis.


Yudis sebelumnya menjelaskan Salam merupakan Sekolah belajar masyarakat yang dinaungi payung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PKBM. Selanjutnya Yudis bercerita bagaimana akhirnya Ibu Wahya sapaan Sri Wahyaningsih selaku pendiri Salam berproses mendirikan Sanggar Anak Alam ini. Diawali pada 1988 di Desa Lawen, salah satu wilayah terpencil di Jawa Tengah, yang ketika itu Wahya dipercaya menjadi Ketua RT dengan sejumlah perubahan yang dilakukannya.“Kalau periode Ketua RT sebelumnya mengisi rapat RT dengan arisan, Ibu Wahya mengganti dengan sesi diskusi masalah-masalah yang ada disekitar Desa Lawen. Kemudian dari hasil diskusi tersebut muncul dua masalah pokok yang cukup mendesak yaitu ekonomi dan pendidikan” Tutur Yudis.


Ketika itu Ibu wahya mengupayakan solusi dari kedua masalah mendesak, ekonomi memunculkan koperasi dan pendidikan lebih pada kelompok belajar anak-anak serta remaja. Kelompok belajar dilaksanakan ketika itu setelah anak-anak pulang dari sekolah formal mereka, yang kegiatannya adalah melakukan riset apa yang ada sekitar lingkungan mereka kemudian produknya adalah sebuah tulisan.“Nah, disela-sela waktu anak-anak ini kemudian muncul juga tugas-tugas seperti pr dan lain sebagainya dari Sekolah formal mereka. Maka dari hal tersebut memunculkan data-data baru tentang wajah pendidikan di saat itu.” Ujar Yudis. 


Yudis melanjutkan penjelasaanya, ternyata saat itu dengan hadirnya tugas sekolah, anak-anak malah justru terbebani, kemudian materinya juga tidak kontekstual dengan kebutuhan anak tersebut. “Artinya apa? Pendidikan ini, tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip dasarnya. Kemudian di sisi lain pengalaman ibu wahya sendiri pada anaknya yang baru bisa dan ingin benar-benar sekolah di umur 10 Tahun, maka sebelumnya ketika itu dia belajar bersama ibunya bu Wahya di dapur, bersama petani di sawah, ternyata ada keasikan dan memunculkan kekaguman saat anak tersebut mengetahui ditanaman kacang itu bisa tumbuh kacang dibawahnya yang akhirnya hal itu menakjubkan bagi si anak.” Kata Yudis.


Yudhis bercerita singkat, tahun 2004 Ibu Wahya pindah ke Yogyakarta dengan membawa konsep kelompok belajar tersebut yang berkembang hingga saat ini menjadi Sanggar Anak Alam. Pada 2004, yang saat itu paling memungkinkan difasilitasi adalah anak-anak usai paud yang belum terikat dengan sekolah formal dengan sebutan Kelompok Taman Bermain dan berkembang pada kebutuhan anak SD di Tahun 2008, pada SMP Tahun 2011, dan terakhir pada kebutuhan anak SMA di Tahun 2017. 


Lalu ketika tim redaksi melemparkan pertanyaan kepada Yudhis tentang pelajarannya apa aja di Salam? Jawaban singkat dari Yudhis menjawab tidak ada. Namun kemudian, Yudhis menjelaskan berkaitan hal tersebut, bahwa di Salam memiliki kurikulum berbasis riset. Maka kegiatan anak-anak ketika belajar, pertama yang dilakukan adalah mereka memilih topik riset mereka, baru mengembangkan risetnya pada pengetahuan lain. “Dengan riset, anak-anak jadi punya pemikiran kritis dan punya solusi. Karena mereka memilih sendiri topiknya, jadi tidak ada pengetahuan yang dipaksakan. Bahkan banyak dari mereka yang sudah punya penghasilan sendiri, karena tak jarang produksi hasil riset mereka bisa langsung dijual.” Jelas Yudhis.


Maka dalam hal ini jika mata pelajaran di Sekolah formal justru dianggap seperti mengkotak-kotakan dalam membatasi insting eksplorasi siswa. Tidak hanya itu, siswa juga dipaksa memenuhi beban nilai yang sangat berat. Menelan ilmu-ilmu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. “Sekolah itu sebenarnya hanya sebagai wadah saja, nah wadah untuk siapa? ya untuk masyarakat belajar yang dimaksud masyarakat belajar yaitu anak-anak, orang tua murid, dan gurunya juga.” Tutur Yudhis.


Sehingga input dari proses belajar jika pada Sekolah formal adalah guru dan outputnya adalah anak-anak atau muridnya. Kemudian jika dlihat secara lebih luas lagi proses belajar harusnya dapat terjadi kapanpun, dan dimanapun. Berarti ada sebuah tindak upaya dalam membangun ekosistem proses belajar tersebut. Yudis menjelaskan lebih lanjut bahwa Salam telah menggunakan strategis supaya belajar kapanpun dapat terealisasi. Berawal dengan memfasilitasi anak-anak, otomatis orang tua akan ikut karna memiliki ikatan diantara keduanya, serta adanya fasilitator sebagai penyelenggara. Maka terwujudlah masyarakat belajar (anak-anak, orang tua murid, fasilitator) dalam satu wadah yaitu sekolah.

15 views0 comments
bottom of page